arti sebuah kebahagian
Kejadian sore tadi masih menyimpan banyak pertanyaan untuk Seokmin terutama tentang perubahan sikap si manis.
“Mbul makan dulu ya, sedikit aja ngga papa biar perutnya ngga kosong,” Ini sudah ketiga kalinya sang suami membujuk Jisoo untuk makan. Pasalnya setelah mandi tadi, si manis benar-benar hanya diam seperti menutup diri.
“Satu suap aja yaa pliss...” Ketika Seokmin menyodorkan sendok kedepan Jisoo bukannya membuka mulut, si manis malah memalingkan wajahnya dan kembali menolak untuk makan.
“Hhh mbul kamu bisa sakit kalo ngga mau makan kayak gini, satu suap aja yaa abis itu minum obatnya.”
“Sooie ndak mau makan Omiin. Sooie ngantuk mau tidur sekarang,” nada bicara yang datar mengakhiri percakapan mereka.
Jisoo menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya dan mengubah posis tiduran membelakangi sang suami, sedangkan Seokmin hanya bisa menghela nafas kasar. Mau memaksa pun rasanya itu bukan cara yang bagus karena ia juga paham keadaan si manis sekarang.
“Kamu boleh marah sama aku walaupun aku juga ngga tau mbul salah aku apa. Kalo mbul ada masalah mbul bisa cerita ke aku. Jangan di simpen sendirian kamu bisa berbagi sama aku walaupun aku juga ngga tau apakah bakal ngasih solusi buat masalah kamu.
Tapi mbul aku minta tolong tetep peduliin diri kamu sendiri, jangan sakitin diri kamu dengan cara ngga makan kayak gini. Mbul paham kan maksud aku? Aku sayang sama kamu jadi kamu juga harus sayang sama diri kamu sendiri.
Gapapa kalo mbul masih butuh waktu sendiri aku tungguin sampe mbul ngerasa baikan. Aku mau nyelesein kerjaan dulu kalo mbul butuh sesuatu panggil aja aku ngga nutup pintunya kok. Good night cantik semoga mimpi indah...”
Kecupan singkat pada dahi si manis Seokmin berikan sebelum ia pergi meninggalkan kamar menuju ruang kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaan.
“Jisoo awas!!!” Suara teriakan itu membuat si pemilik nama menoleh, namun belum sempet Jisoo mengetahui siapa yang memanggilnya ia sudah lebih dulu merasakan dingin dan basah disekujur tubuhnya.
“Ups sorry gue gak tau ada lo lewat sini...”
Kejadian seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari untuk seorang Hong Jisoo. Dirundung dan dipermalukan didepan banyak orang tanpa belas kasihan.
“Awas ya kalo lo ngadu ke nyokap bokap atau wali kelas, gue jamin hidup lo akan lebih menderita daripada ini. Dasar tukang caper.”
Dirinya akan ditinggal dan dibiarkan begitu saja bahkan orang yang melihat itu memilih untuk diam seolah tidak melihat apa yang mereka lihat barusan.
Kepala yang selalu tertunduk setiap berjalan, menghindari kerumunan bahkan tidak ada teman sebangku. Jisoo merasakan semua itu ketika duduk di bangku sma.
Siapa sangka anak yang tumbuh dan besar di keluarga harmonis, penuh kasih sayang dan berkecukupan itu harus menerima nasib buruk di lingkungan sekolah.
“Jisoo lo udah kerjain pr matematika kan? Gue mau liat dong kemarin malem ketiduran jadi lupa. Boleh yaa?”
“T-tapi kan...”
“Jangan pelitlah, sama temen sendiri pelit amat,”
Harus selalu mengiyakan setiap kemuan mereka jika tidak ingin terlibat masalah sampai sering kali tugas dan pr yang sudah ia kerjakan semalaman di contek dan mendapatkan nilai yang sama dengan mereka yang tidak mengerjakan.
Kertas ulangan di tukar, buku catatan yang rusak, alat tulis yang hilang hingga bekal makan yang di buang ke tempat sampah. Semua itu benar-benar dialami oleh Jisoo sendiri.
“Jisoo!!! Lo ngadu ya ke wali kelas kalo kita ngebully lo? Heh bukannya lo bilang kita ini teman? Licik banget lo jadi cowo. Sini ikut gue,”
“Jinwoo- Jinwoo aku ngga ngadu ke siapa pun,”
“Alah bohong. Gue sama yang lain baru dipanggil sama konseling gara gara lo,”
“A-aku ngga ngadu ke siapa pun Jinwoo sumpah demi tuhan aku ngga ngadu...”
“Udah lah bawa aja ke kamar mandi,”
“Jinwoo aku ngga ngadu- Jinwoo lepasin,”
Tubuhnya yang diseret secara paksa melewati lorong kelas dengan tatapan jijik dari orang-orang disana. Kamar mandi menjadi saksi dimana dirinya benar-benar sudah mencapai titik terrendah.
“Jinwoo buka pintunya aku ngga ngadu ke siapa pun, aku berani sumpah hiks,”
“Kita tau kok lo diem diem ngirim surat ke kotak saran konseling, jadi itu pasti lo yang ngelaporin”
“Engga, aku ngga pernah ngadu ke siapa pun,”
“Kasih pelajaran aja biar tau rasa.”
Jisoo yang di kunci didalam salah satu bilik kamar mandi kemudian di siram air, dengan seragam yang sudah basah itu ia masih harus bertahan sampai jam pulang sekolah.
Dan itu juga merupakan kali terakhir dirinya menginjakkan kaki di sekolah yang seperti neraka bagianya. Tidak ada rasa kemanusian dan belas kasihan di sana. Mereka semua benar-benar kejam.
“Hiks Sooie minta maaf... maaf Sooie ngga akan ngadu ke siapa pun Sooie berani sumpah hiks,”
“Mbul sayang bangun... mbul mimpi buruk, sayang bangun,” ujar Seokmin sambil terus mengguncang pelan tubuh si manis.
“Maafin Sooie... Jinwoo Sooie minta maaf...”
“Jisoo... Jisoo tolong bangun...”
“Jangan!!! Jangan buang bekal Sooie, bunda udah masak buat Sooie tolong jangan di buang,”
Seokmin sudah tidak bisa menahan air matanya. Ia ikut menangis melihat Jisoo yang semakin meronta dalam tidurnya dan melantur tidak jelas meminta maaf.
“Mbul ini aku suami kamu, ayo bangun sayang,”
“Maaf Sooie minta maaf tapi jangan kunci Sooie di kamar mandi lagi, Sooie takut hiks...”
Perlahan Jisoo mulai tersadar, bangun dari tidur dengan air mata di sudut matanya. Melihat sang suami didepannya sama sama menangis membuat si manis terheran.
“Omiin-”
“Mbul kenapa sebenernya, kenapa mbul terus minta maaf padahal mbul ngga salah. Aku takut waktu mbul terus bilang maaf dan nyebut nama Jinwoo,”
Sang suami memeluk sangat erat tubuh jJsoonya seolah ia tidak ingin kehilangan sebuah harta yang paling berhaga serta mengusap pelan punggung si manis guna memberikan ketenangan.
“Omiin... ada yang pengen Sooie kasih tau ke Omiin.”
Disinilah mereka sekarang, duduk berhadapan di kursi ruang makan. Rumah malam ini terasa sepi apalagi setelah kejadian sore tadi.
“Mbul minum dulu biar lebih tenang,” ujar Seokmin sambil menyodorkan segelas air putih kepada si manis.
Jisoo menerimanya dengan pelan meminumnya dan mulai menstabilkan kembali deru nafasnya. Niatnya memberi tau semua ini kepada sang suami sudah bulat.
“Omiin....”
“Iya mbul,” Seokmin yang paham berinisiatif meraih tangan si manis untuk ia genggam.
“Sooie mau kasih tau ini ke Omiin, tapi Omiin harus janji dulu sama Sooie.”
“Janji?” Anggukan kecil diberikan.
“Omiin harus janji sama Sooie kalo apa yang akan Omiin denger nanti tolong jangan kasih tau ke siapa pun. Anggap ini cuma rahasia Omiin sama sooie.”
“Tapi mbul-”
“Kalo Omiin emang ndak bisa janji, Sooie juga ndak bisa ceritaiin ini ke Omiin.”
“Aku janji. Aku janji apapun yang aku dengar nanti cuma akan jadi rahasia kita berdua. Rahasia aku sama mbul aja.”
Jari kelingkingnya terulur kemudian bertaut mengartikan sebuah janji untuk saling menunjukan kepercayaan dan kejujuran antara satu sama lain.
“Jadi, ini semua berawal waktu Sooie masuk ke sma waktu itu juga bertepatan sama ayah yang harus pindah dinas....”
Si manis mulai menceritakan masa smanya yang kelam itu. Rasanya seperti membuka kembali halaman buku yang ceritanya begitu menyedihkan bagi si tokoh utama.
Satu persatu Jisoo menyebutkan secara rinci apa saja yang ia alamai semasa sma hingga dirinya memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih melanjutkan dengan homeschooling.
Tentang Jinwoo dan teman-temannya hingga seluruh siswa-siswi di sekolahnya yang memilih bungkam karena mereka tidak ingin bernasib sama seperti Jisoo waktu itu.
“Hiks Omiin, Sooie takut waktu tadi siang harus ketemu Jinwoo lagi. Sooie takut orang-orang akan tau tentang apa yang terjadi sama Sooie.”
Mendengar si manis kembali terisak, sang suami bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat kearah Jisoo kemudian memeluk tubuh yang bergetar akibat tangisan yang sudah tidak bisa ditahan.
“Mbul udah bisa bertahan sampai sejauh ini aja buat aku mbul udah sangat hebat. Makasih karena mbul bisa melawan fase itu.
Aku emang ngga ngerasain ada di posisi kamu waktu itu, tapi liat mbul sekarang ada di sini itu artinya mbul kuat. Keputusan mbul udah bener kok.
Mulai sekarang mbul ngga perlu takut lagi karena mbul punya aku di sini. Siapa yang berani jahat sama mbul bakal aku suruh dia berhadapan sama aku.”
“Emangna Omiin ndak takut?”
“Ngga ada yang aku takutin di dunia ini kecuali Tuhan, mamih sama kamu,” si manis langsung melepaskan pelukannya pada Seokmin.
“Sooie nakutin Omiin? Emangna Sooie nakutin gimana?” Tatapan menyelidik langsung diarahkan si manis tepat kearah sang suami.
“Eh itu maksud aku itu mbul serem kalo lagi marah, aku jadi takut gitu mbul maksudnya.”
“Emangna Sooie pernah marah?”
“Udah malem mending sekarang kita tidur yaa,”
“Isshhh Omiin belum jawab pertanyaan Sooie...”
“Ayok sayang besok aja ya jawabnya,”
“Omiin nyebelin...” Walaupun berkata demikian si manis tetap menurut mengikuti suaminya menuju ke kamar mereka.
“Sssshhhh dingin banget,” keluh Seokmin yang baru keluar dari kamar mandi.
Ia bergegas ikut berbaring dan masuk kedalam selimut tidak lupa mancari kesempatan dalam kesempitan dengan memeluk si manis yang sudah berada di sana.
“Sooie tau ini pasti cuma alesan Omiin biar bisa peluk Sooie kan?”
“Toh kamu di peluk gini juga ngga protes kan?” Keduanya saling diam setelah itu. Seokmin yang masih menyamankan posisinya untuk memeluk si manis sedangkan Jisoo masih larut dalam pikirannya.
“Sooie salah ndak sih rahasiain ini dari yayah sama bubun?” Ia menoleh menatap suaminya.
“Kalo menurut mbul itu pilihan yang terbaik ya ngga papa. Ngga semua orang harus tau semua tentang kita, tapi ngga ada salahnya juga kita punya rahasia kan?”
“Kalo dulu Sooie ceritaiin semua ke bubun, kira-kira apa yang akan terjadi sama Sooie sekarang?”
“Kita ngga akan ketemu,”
“Kenapa gitu?”
“Karena semua ini udah takdir dari yang diatas. Menurut mbul hidup mbul sekarang kayak gimana? Apa mbul bahagia nikah sama aku?” pertanyaan yang terlontar antara sadar dan tidak sadar.
“Sooie... bahagia sekarang. Sooie bahagia hidup sama Omiin.” Jisoo tersenyum.
“Hidup Sooie udah jauh lebih baik dari sebelumnya. Berkat Omiin Sooie bisa melewati setiap hari dengan perasaan yang bahagia.
Emang ndak gampang buat selalu bahagia disetiap harinya, tapi Omiinlah yang bikin semua itu terasa gampang. Sooie bahagia punya Omiin di hidup Sooie.
Makasih Omiin udah jadi superherona Sooie. Omiin jangan cape yaa buat bikin Sooie bahagia. Sooie sayang banget sama Omiin melebihi Sooie sayang ke yayah bubun sama Oshiin. Love you Omiin....”
“Love you too mbul...”
Pelukan pada tubuh sang suami mengakhiri percakapan mereka malam itu. Lega rasanya seperti baru saja berbagi beban dengan orang lain.
Jisoo akan selalu mengingat malam ini. Malam ketika ia pertama kali dalam hidupnya mau memberi tahu sebuah rahasia.
Dan Jisoo harap Seokmin memegang janjinya untuk menutup rahasia itu rapat - rapat. Cukup hanya dirinya dan sang suami yang tau tentang ini semua.